WELCOME

SELAMAT DATANG di BLOG ku yang masih sederhana ini.

Makasih sudah mau berkunjung.... ^^

Jumat, 20 Agustus 2010

CHOCHOLATE MUSIC~Bag 2~

DUA


            “Kumohon…” kata Akane pada ayahnya.
            “Tapi kalau kau berangkat sekolah sendirian, aku takut terjadi apa-apa padamu.” Kata ayahnya cemas.
“Tak apa. Ayah tenang saja. Lihatlah aku sudah baikan kok.” Akane tetap bersikeras.
Jun memandangi Akane lekat-lekat. Apanya yang sehat? Wajah Akaneselalu nampak pucat. Jun bingung harus berkata apa pada anaknya. Ia takut terjadi sesuatu pada Akane.
“Tidak usah. Kau harusnya senang sudah diantar dengan mobil.”
“Kumohon aku ingin terlihat seperti anak-anak normal lainnya. Aku juga ingin berangkat bersama dengan teman-teman baruku. Rasanya pasti seru...!”
“Hah... terserah padamu saja.kalau keinginanmu begitu, besok kau boleh berangkat dengan sepeda tapi ada syaratnya..!”
“Apa syaratnya?”
“Selama tujuh hari ke depan, pak Eikichi akan memantaumu dari jauh.”
“Oh.. jangan, Ayah... itu sama saja aku seperti diintai orang,... aku takkan isa bercanda dengan teman-temanku nanti. Aku bisa lakukan sendiri.” Kata Akane sambil memohon. Jawaban yang berat untk Jun. Ia masih cemas. Akane tersenyum padanya. Ia takut kehilangan senyuman itu.
            “Baiklah. Kalau itu keinginanmu. Selama tidur, Akane.”
            “Yey... Terima kasih Ayah.... Selamat Tidur juga.”
            Jun berjalan mendekati pintu, ia menoleh menatap Akane sekali lagi. Akane tersenyum manis padanay. Ia berjalan keluar dengan perasaan lega bercampur cemas.
~~~~~~~~~~~
            Hujan mulai mereda tapi rintik-rintik air masih terlihat diluar. Satsuki tertidur nyenyak di sofa depan. Ia masih menunggu ibunya pulang. Telepon rumah berdering nyarig. Satsuki terbangun dan mengerjapkan mata. Ia berusaha berjalan linglung ke arah benda yang berbunyi nyaring tersebut.
            “Halo. Dari siapa? mencari siapa?” katanya asal-asalan. Terdengar jawaban dari seberang.
            “Ibu? Ibu dimana? Apa? Menjemput ibu? Baiklah tunggu sebentar. Aku akan segera kesana.”
            Satsuki menutup teleponnya. Ia berlari mengambil sebuah payung dan jaket. Perlahan, ia membuka pintu dan mulai berlari di tengah dinginnya malam.
~~~~~~~~~~~
            Wanita itu menutup telepon genggamnya. Sekarang, ia hanya perlu menunggu anak lelakinya datang menjemput. Wanita itu nampak kurus, tulang pipinya sedikit menonjol. Tapi guratan di wajahnya itulah bukti dari kerja kerasnya selama ini untuk menghidupi kedua anaknya dan seorang suami yang telah melimpahkan seluruh kewajibannya padanya. Ia menatap jam tangannya yang mulai menguap, tamapk jarum pendek menunjuk angka 2 dan jarum panjang menunjuk angka 6. udara semakin dingin setelah hujan reda meskipun masih gerimis. Sesosok bayangan orang berlari mendekatinya. Bayangan itu akhirnya membentuk sesosok wujud lelakimuda yang datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa payung.
            “Ibu…Ibu..” katanya sambil terengah-engah.
            “Kenapa kau lari-lari?” kata wanita itu sambil membuka payung.
            “Aku takut ibu sudah menunggu terlalu lama.”
            “Bicara apa kau? Cepat kta pulang udara sudah semakin dingin!”
            Satsuki berjalan beriringan dengan ibunya. Sesekali ia menatap wajah ibunya. Lelah itulah yang terpantul dari wajah wanita itu.
~~~~~~~~~~~
            Matahari bersinar dengan bersahabat. Akane mengayuh pelan sepedanya. Ia senang sekali karena diperbolehkan bersepeda saat sekolah. Jalan yang ia lewati cukup sepi. Hanya ada sedikit sepeda yang berlalu lalang. Ia memandang sekelilingnya tampak sepi sekali. Rumah-rumah seperti tak ada penghuninya. Ia
menerka pasti mereka telah berangkat kerja dari tadi pagi.
            Sesekali ia melihat gadis yang sebaya dengannya lewat. Banyak yang berangkat bersama. Kadang ada yang menyapanya tapi Akane sama sekali tidak kenal mereka mungkin mereka sekelas, tapi Akane belum hafal betul nama teman-teman sekelasnya. Ia hanya membalas sapaan mereka dengan tersenyum sambil anggukan kepala. Topinya sedikit bergoyang saat ia menganggukan kepalanya. Ia berhenti dan membetulkan letak topinya. Ayahnya menyuruhnya untuk memakai topi agar tidak kepanasan.
            Angin musim semi yang hangat berhembus kencang. Saat ia melewati jala yang teduh karena dikelilingi pohon besar, angin tersa menerpa wajahnya dengan keras. Ia melewati sebuah bukit hijau, saat itu juga topinya terbang dan tersangkut di pohon di atas bukit. Akane memarkir sepedanya dibawah dan berlari menaiki tangga naik yang batunya sudah tidak rata lagi. Topinya tersangkut di dahan pohon yang cukup tinggi. Ia berusaha mengambilnya dengan kayu, tetap saja topinya hanya bergoyang sedikit. Ia terus berusaha berharap angin kencang datang
Dan membuat topinya jatuh. Tanpa ia sadari, seseorang datang dan menawarkan bantuan pada Akane. “Butuh bantuan, Akane?” katanya lembut.
            Akane menoleh. Ia melihat seorang gadis berambut pendek dan seumur dengannya. Ia berdiri tepat dibelakan Akane. Gadis itu memakai kacamata dan kelihatannya lebih tinggi darinya.
            “Maaf, kau siapa? Kenapa bisa mengenalku?” kata Akane sambil mengingat-ingat.
            “Mungkin kau belum mengenalku. Kita sekelas kan?” katanya sabil tersenyum.
            “Oh... Benarkah? Siapa namamu?” kata Akane bersemangat.
            “Namaku Rin Hayashi. Salam kenal. Oh, iya kenapa topimu bisa tersangkut disana?” katanya sambil memandang ke atas.
            “Angin bertiup kencang tadi dan angin yang menerbangkan topiku.
            “Hmp… kurasa aku bisa membantumu.” Katanya sambil mengambil tongkat kayu dan meloncat-loncat berusaha menjatuhkan topi Akane. Setelah beberapa menit berlalu, topi Akane akhirnya jatuh ke tanah. Dengan girang, Akane mengambil topinya dan membersihkannya dari kotoran yang menempel di topinya.
            “Terimakasih banyak. Hayashi!” kata Akane sambil membungkuk.
            “Ah, tak usah berlebihan. Panggil aku Rin saja! Ayo cepat kita berangkat sebelum telat.” Ajak gadis itu sambil menggandeng tangan Akane.
~~~~~~~~~~~
            Pagi ini disekolah, Akane melihat bangku sebelahnya masih kosong. Ia menatap jam tangannya. Hampir pukul tujuh. Sebentar lagi pasti bel berbunyi tapi kawan sebelahnya masih belum menampakkan batang hidungnya.
            Benar pikirannya beberapa saat kemudian bel masuk berdering. Kawannya masih belum menampakkan wujudnya. Akane gelisah, apakah ia tidak masuk sekolah? Karena apa? Tidak ada satupun surat yang dikirim keluarganya ke sekolah.
            “Rin Hayashi?”
            “Hadir”
            Pak Guru mulai mengabsen muridnya. Akane semakin bingung apa yang harus ia katakan ke Pak Guru saat nama teman si sebelahnya dipanggil. Nama-nam temannya mulai terucap dan dijawab oleh si pemilik nama. Akhirnya datang juga...
            “Satsuki Ichikawa?” kata pak guru yang masih menekuri buku absen siswa. Kelas hening sejenak.
            “Apa Ichikawa masuk hari ini?” Pak Guru mulai menatap bangku Satsuki yang kosong lalu mata minusnya yang memakai kacamata itu berpindah menatap Akane. Dia gelagapan bingung mau berbuat apa. Taka ada satupun kata-kata ynag terlintas di pikirannya.
            “eng.... eng.....” kata-katanya putus-putus.
            “Pasti ia sibuk mengurusi ayahnya yang pemabuk.” Kata Hondo memotong. Sontak sekelas tertawa. Pak Guru geram dan menaruh buku absen di meja. Ia memandang sekelas dengan tatapan tajam. Kelas kembali hening. Akane masih melihat ada beberapa anak yang tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. Ia mengernyitkan dahi, apa yang sebenarnya terjadi disini? pikirnya dalam hati.
            Pintu kelas diketuk pelan. Pak Guru mempersilahkan masuk. Tampak seorang pemuda berdiri dengan tampang tak karuan di depan pintu. Pak Guru mempersilahkan pemuda itu masuk. Akane terkejut bukan kepalang. Itu Satsuki! Katanya dalam hati.
            “Mengapa kau bisa datang terlambat, Ichikawa?”
            “Maaf. Aku bangun kesiangan tadi.”
            “Ya, sudahlah. Karena nilai-nilaimu bagus di mata pelajaranku, aku beri dispensasi. Duduklah.”        
            “Terima Kasih.” Satsuki membungkukkan badan dan berjalan ke arah bangkunya. Akane sempat melihat wajahnya seperti banyak masalah tapi tetap saja lelaki disampingnya kembali diam dan memasang tampang seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.
~~~~~~~~~~~
            Hari terasa sangat cepat berlalu. Bel pulang berbunyi nyaring. Akane mengajak Rin pulang bersamanya tapi ia menolak, katanya ia ada exkul Ikebana* setelah pulang sekolah. Akhirnya Akane pulang sendirian. Hari ini tidak terlalu panas tapi Akane tetap memakai topinya. Ia melewati jalan yang ia lewati tadi pagi. Angin berhembus pelan, menyejukkan suasana. Akane mengayuh sepedanya pelan. Suasana daerah itu tetap saja sepi tetapi tak sesepi saat ia berangkat sekolah tadi pagi. Ada beberapa anak kecil berlarian dan bermain petak umpet bersama. Sejenak ia teringat masa kecilnya. Ia ingat sejak umur 12 tahun, saat penyakit itu menyerang, ia sudah tak bisa berlarian bebas seperti anak-anak tersebut. Ia harus menjalani Kemoterapi sejak kecil dan terus-terusan tinggal dirumah sakit. Tanpa terasa setitik air mata menetes dari pelupuk matanya.
            Ia tetap mengayuh sepedanya, pelan-pelan ia memasuki jalanan yang cukup rindang karena banyak pepohonan yang ditanam disana. Akane berhenti di tempat topinya yang tersangkut tadi pagi. Ia ingin beristirahat sebentar disana.
            Tangga batunya bahkan sudah tak tampak rata lagi. Ia menaikinya dengan perlahan. Sesampainya diatas ia disambut oleh hembusan angin lembut yang memainkan gerai-gerai rambutnya. Akane melepas topinya dan memasukkannya ke dalam tas.
            Ia menatap ke depan. Pemandangan dari bukit kecil tersebut sangat menakjubkan. Ia bahkan tak mengedipkan matanya saat melihat pemandangan kota Tokyo dari atas bukit tersebut. Pemandangan kota yang jarang bisa ia lihat saat di Jerman. Gedung bertingkat banyak disana, ada taman, rel kereta, semuanya bisa ia lihat dari sini. Ia membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Sebatang coklat. Akane menaruh tasnya di tanah. Ia membuka kertas pembungkus coklat tersebut dan memakannya. Tersungging senyum manis di wajahnya.
            Ia kembali menatap pemandangan kota itu dari atas sambil memakan coklatnya. Angin berhembus lembut. Sejenak, ia merasa bisa melupakan masalahnya. Masalah tentang penyakitnya dan anak lelaki yang selalu bersikap dingin padanya. Akane menutup matanya dan merasakan udara menembus tubuhnya. Ah, sebuah pikiran terlintas di otaknya. Mungkin bukanlah ide yang bagus tapi apa salahnya untuk dicoba?
~~~~~~~~~~~
            Dengan lunglai ia membuka pintu rumahnya. Sepi. Keadaan rumanya tetap saja begitu bahkan cenderung tidak akan berubah. Seperti biasanya, ia naik ke tangga menuju kamar adiknya. Ia mengetuk pintu kamar adiknya. Tidak ada jawaban dari dalam. Satsuki perlahan membuka pintu kamar Hazuki. Ia tak ada di kamarnya. Semua barang Hazuki tertata rapi.satsuki mengernyitkan dahi. Kemana adiknya pergi? Ia mulai mencari adiknya ke seluruh penjuru rumah tapi nihil. Perasaan Satsuki campur aduk. Ia takut terjadi apa-apa dengan Hazuki.
            Pintu belakang rumahnya terbuka. Satsuki berjalan untuk memastikan semoga Hazuki ada disana. Dengan perasaan campur aduk, ia melongok keluar dan melihat Hazuki mengelus seekor anak kucing. Ia melihat adiknya dengan perasaan sedih. Rasanaya ia ingin berteriak sekeras-kerasnya agar dunia tahu betapa sedihnya dia. Hazuki terlihat sangat manis, sebuah senyuman tersungging di pipinya. Satsuki hanya bisa menatap dan meratap.
~~~~~~~~~~~
            “Aku pulang...!!” kata Akane riang.
            “Kau sudah pulang? Kenapa sesore ini?” kata Jun sambil menutup koran sore yang ia baca.
            “Hehehe... Tadi aku sempat mampir ke tempat dimana topiku tersangkut. Eh, maksudku, aku tadi ketempat topiku yang tersangkut tadi pagi di dahan pohon saat aku akan berangkat sekolah.... ” Akane mulai bercerita dengan semangat. Jun menatap sekilas harapan hidup yang terpancar dari wajah Akane dengan menerawang. Ia melamun tanpa memperhatikan Akane yang bercerita.
            “Ayah, Halo..??? Ayah mendengarkan aku?” kata Akane sambil menggerak-gerakkan tangannya didepan wajah Jun.
            “Oh, oh, iya.. Kau sudah minum obatmu?” kata Jun tiba-tiba
            “Ya, aku sudah meminumnya. Kalau begitu aku mau mandi dulu.” Kata Akane sambil berjalan perlahan ke dalam rumah. Segera ia berlari ke tangga menuju kamarnya. Jun hanya menatap dengan senyum tersungging di pipinya.
~~~~~~~~~~~
            Senja datang. Satsuki duduk menyendiri di ruang tamu. Ia membaca banyak buku. Mulai dari buku pelajaran sampai buku pengetahuan lainnya. Hari ini rumahnya tetap sepi. Ia belajar untuk menaikkan derajat keluarganya yang sudah tercoreng buruk oleh kelakuan ayahnya. Ia ingin semua berubah menjadi lebih baik nanti.
            Terdengar suara pintu rumah dibuka. Seorang wanita paruh baya masuk. Satsuki memalingkan wajahnya sejenak dari bukunya. Ia memandang sejenak wanita paru baya itu.
            “Ibu, kenapa pulang secepat ini?” tanya Satsuki.
            “Aku sedang tidak enak badan.”
            “Apa ibu sakit? Perlu aku antar ke dokterkah? Atau kubelikan obat?” kata Satsuki  cemas.
            “Tidak. Tidak usah. Aku tak apa-apa. Hanya perlu istirahat sebentar. Hazuki mana?”
            “Dia ada dikamarnya bu. Perlu ku antar?”
            “Tidak perlu. Ibu bisa sendiri.” Ibu Satsuki perlahan berjalan ke tangga dan menghilang di balik tembok. Satsuki kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Jarum pendek jam berjalan mendekati angka 6. satsuki bersiap untuk memasak makanan untuk makan malam. Ia membereskan bukunya dan berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari makanan, terdapat sayuran dan ikan disana. Ia berfikir sejenak, untuk menu makan malam hari ini. Sup. Ya, lebih baik hari in makan sup saja. Cuaca hari ini cukup dingin, ibunya juga sepertinya butuh makanan yang hangat. Akhirnya ia mengeluarkan beberapa sayuran dari lemari makanan dan bersiap mengolahnya.
            Ia mengambil pemutar musik dari sakunya dan memasang earphone di telinga. Pelan-pelan terdengar suara musik mengalun dari earphonenya. Ia menikmatinya sambil memotong sayuran-sayuran tersebut.
            Terdengar suara langkah berat di luar rumah. Satsuki melepas earphonenya. Ia ingin tahu siapa yang datang. Belum sampai depan pintu, pintu rumah sudah dibuka paksa dengan keras oleh seorang lelaki paruh baya yang bejalan linglung dan berusaha masuk ke dalam rumah. Satsuki tercengang melihat lelaki yang dengan keadaan mabuk itu masuk ke dalam rumah.
            “Hei mana ibumu, Aku minta uang lagi! Mana dia, bocah?”
            “Ayah? Tenanglah. Ibu sedang sakit, jangan berisik.” Kata Satsuki sambil berjalan mendekati ayahnya.
            “Aku tak peduli! Berikan uangnya atau aku akan mengobrak-abrik seisi rumah ini!!” katanya sambil berteriak-teriak. Satsuki bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia tak mungkin membangunkan ibunya. Ia juga tak mungkin mengambil dengan lancang uang milik ibunya.
            “Cepat berikan uangnya! Kalau tidak mau, aku akan mengambilnya sendiri dari ibumu!” kata lelaki itu sekali lagi. Ia mulai mengambil sikap menerobos masuk dan mulai menaiki tangga. Dengan cepat satsuki mencegah laki-laki tersebut dengan menarik tangannya.
            “Tunggu! Aku akan beriakn uangnya, asalkan ayah tidak membangunkan ibu!” Satsuki kehabisan ide untuk ini. Ia mengambil uang sakunya selam seminggu dan memberikannya ke ayahnya dengan terpaksa. “Segini cukupkan?!? Sudah pergilah sana!”
            Ayahnya tersenyum bangga. “Terima kasih, bocah! Aku pergi dulu.” Katanya sambil berlalu dan menutup pintu depan dengan keras.
            “Ya! dan tak usah kembali lagi!” teriak Satsuki kepada pintu yang sudah tertutup rapat. Ia berbalik dan melihat Hazuki mengintip dari balik pintu kamarnya. Terkejut dengan tatapan kakaknya, Hazuki segera menutup pintu kamarnya. Ia mengatur nafasnya yang memburu. Ia lelah, bingung, bosan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Ia duduk di sofa menenangkan diri. Jarum pendek mendekati angka 7 sekarang. Hari sudah semakin malam. Ia berjalan kembali ke dapur dan memasang earphonenya. Terdengar suara lagu mengalun yang sementara ini bisa menenangkan hatinya. YUI-IT`S HAPPY LINE-
            Dare no tame ni ikite iru no?
            Saenai hibi wo sugoshite
            Yowasa mo itami mo
            Dono kurai kanjiteiru no?
               Tarinai kinou ni obore yume ni kaita kyou
               Soro e nakute mo Yeah… Yeah…
               Yoake mae no matataku hoshi wa
               Kiete itta no? Asu he ita no?
               Tomorrow never knows      IT`S HAPPY LINE
            Nani wo shinjitte ikeba ii?
            Mienai hibi wo sugoshite
            Donna yoru wo mite mo
            Mou kurai kao shinai de
                Daremo ga shiawase yobu egao
                Miete iru no? Warae nakute mo Yeah… Yeah…
                Asu he no omoi wo mune ni
                Akai me wo mite waratte mita no
                Tomorrow never knows     IT`S HAPPY LINE
            Untuk siapa kau hidup?
            Seperti kau melewati hari-hari yang suram ini
            Seberapa banyak kelemahan
dan rasa sakit yang kau rasakan?
     Tetap saja jika kau kehilangan sesuatu di masa lalu yang tak memuaskan
     Dan hari ini tak berbuat seperti hari tergambarnya dirimu di mimpi
    Bintang itu bersinar sebelum fajar
    Akankah ia pergi? Pergi ke hari esok?
    Esok tak kan tahu   IT`S HAPPY LINE
Apakah yang dapat ku percayai?
Seperti aku melewatkan hari-hari yang tak dapat kulihat
Tak masalah sesuram apa malam yang tlah ku lihat
Jangan nampak demikian sedih lagi
     Tiap orang memiliki senyum yang mereka sebut kebahagiaan
     Dapatkah kau melihatnya? Saat kau tak tersenyum
     Dengan perasaanku untuk hari esok di hatiku
     Aku mencoba melihatnya lewat setitik cahaya merah dan tersenyum
     Esok tak kan tahu  IT`S HAPPY LINE
~~~~~~~~~~~
            Duduk termenung di kasur itulah yang Akane lakukan sekarang. Ia tak sabar ingin menjalankan idenya besok. Bintang malam ini terlihat berkelip redup. Angina masih bertiup meskipun tak terlalu kencang. Musim dingin akan berpindah ke musim semi. Ia tak sabra ingin melihat bunga sakura mekar. Ia berharap Tuhan masih memberinya waktu untuk melihat bunga sakura mekar sebelum ia meninggal. Semoga saja itu bukanlah sebuah harapan kosong. Pintu kamar Akane diketuk pelan. Akane berjalan untuk membuka pintu kamarnya.
            “Ada apa, ayah?”
            “Kau belum tidur?”
            “Belum. Memangnya kenapa?”
            “Sudah kau minum obatmu?”
            “Iya. Sudah. Ayah kesini Cuma mau menanyakan itu?”
            “Ya. Oh.. Jangan lupa tutup jandela mu. Anginnya lumayan kencang.”
            “Ya, aku tahu.... Sudahlah aku ini bukan anak kecil lagi.”
            “Kalau begitu, Selamat Tidur. Jangan lupa pakai selimutmu.”
            “Iya... Aku mengerti. Selamat Tidur, Ayah.” Dengan lembut ayahnya mengelus kepalanya dan berlalu. Akane mentup pintunya. Ia berjalan ke arah jendela dan menutupnya. Ia mematikan lampu kamarnya dan menghidupkan lampu tidurnya yang berdiri di atas meja belajarnya.
            Akane berbaring sambil memandang langit-langit. Tidak terasa sudah sbulan ia lewati. Tinggal dua bulan lagi sebelum saatnya tiba. Penyakit ini semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya. Obat, obat, obat samapi rasanya mual harus minum obat setiap hari. Dari dalam lubuk hatinya, ia ingin seklai membahagiakan orangtuanya, minimal membuat mereka tersenyum. Tapi penyakit ini menghambatnya. Ia tak boleh berfikir terlalu keras, tidak boleh lelah, harus istirahat dan istirahat. Dengan waktu sesingkat ini, apa yang harus ia lakukan? Apakah harus pasrah sampai ajal telah menjemput? Atau berusaha keras untuk membahagiakan orangtuanya meski bertaruh nyawa? Semua terserah kehendak-Nya. Sekali lagi, ia berharap ini bukanlah impian kosong.
~~~~~~~~~~~
           


CHOCHOLATE MUSIC~Bag 1~

SATU

            “Akimoto Erika?”
            “Hadir”
“Hanataro Tsuji?”
            “Hadir”
            Ichikawa Satsuki?”
            Ichikawa Satsuki?”
            “Apakah hari ini Ichikawa masuk sekolah?”
            “Hei, anak pemabuk! Kau dengar Pak Guru sudah memanggil namamu tiga kali. Apa kau juga sedang mabuk?” kata Hondo mengejek.
            Terdengar suara gelak tawa di kelas tersebut. Mereka menertawakan Satsuki yang melamun dan tidak sadar kalau namanya telah dipanggil tiga kali oleh Pak Guru.
            “Diam kalian! Bapak hanya bertanya apakah hari ini Ichikawa masuk sekolah?” kata Pak Guru menenangkan kelas.
            “Hadir”
            Ia mengangkat tangannya berkata dengan pasrah dan kembali bertopang dagu menatap pemandangan diluar kaca sebelahnya. Disinilah ia terjebak. Duduk dibangku depannya Kusaka Hondo, anak seorang pejabat tinggi daerah. Ia terkenal dikalangan semua anak karena kaya raya. Ia sering mengejek Satsuki. Disekitarnya terdapat banyak anak buah Hondo. Ia sudah terbiasa diejek.
            Ayah Satsuki adalah penganggurandan pemabuk berat sedangkan ibunya seorang pekerja kantoran yang sering pulang malam. Semua bermula saat ayahnya datang untuk mengambil raport Satsuki. Saat nama Satsuki dipanggil karena ia juara kelas lagi, bukannya senang, ayah Satsuki malah berkata aneh-aneh karena mabuk dihadapan seluruh orangtua teman-temannya. Terpaksa guru kelasnya menyuruh ayahnya pulang. Sejak saat itulah ia sering diejek dengan sebutan anak pemabuk, anak orang gila atau apalah. Meskipun terus menerus diejek, ia sama sekali tidak tersinggung, awalnya memang sakit tapi setelah sekian lama, ia sudah tak dapat merasakan apapun. Hatinya telah sakit. Bahkan telah hancur berkeping-keping sampai-sampai kepingannya telah berubah jadi debu.
            “Bapak akan memperkenalkan anak pindahan baru dari Jerman. Silahkan perkenalkan dirimu.”
            Gadis berambut hitam sedada itu maju selangkah ke depan dengan gugup. Wajahnya tampak pucat.
            “Seperti yang Pak Guru katakana tadi, aku baru pindah dari Jerman. Sebenarnya, aku orang Jepang. Tapi saat berumur 12 tahun aku mengikuti ayahku pindah ke Jerman. Namaku Akane Shirayuki. Mohon kerja samanya.” kata gadis itu. Ia mundur lagi selangkah ke belakang.
            “Terima kasih. Kau bisa duduk di samping bangku Ichikawa untuk sementara, bangku nomor tiga dekat jendela itu. Silahkan.” kata Pak Guru sambil menunjuk ke bangku Satsuki.
            Baiklah. Terima kasih.”
            Akane berjalan perlahan, mendekati bangku Satsuki. Ia melihat Ichikawa yang sedang asyik melamun memandangi kaca dan tidak menyadari kalau ia ada didepannya.
 “Selamat pagi, boleh aku duduk disini?” katanya lembut dengan tersenyum.
Satsuki terkejut dari lamunannya, ia seperti mengenal suara ini. Mungkinkah gadis itu? Gadis yang bertemu dengannya di stasiunkah? Ia berbalik dan menatap Akane dengan teliti.
“Bolehkah aku duduk disini, Ichikawa?” 
            “Tentu saja.”
            “Terima kasih.”
            Ternyata bukan. Gadis itu bukan gadis yang ia temui di stasiun. Satsuki kembali bertopang dagu memandangi kaca lagi.
~~~~~~~~~~~
            “Aku takut Ayah, aku begitu nervous.” Katanya sambil meremas tangannya.
            “Tenanglah Akane, tidak ada yang perlu ditakutkan. Sekolah bukanlah tempat yang menyeramkan.”
            “Ta…tapi, ini pertama kalinya aku masuk sekolah lagi. Apalagi disekolahan umum. Aku tidak terbiasa untuk merasakan keadaan sekolah pada umumnya.”
            “Tidak apa-apa disan kau pasti dapat teman banyak. Tak perlu kuatir.”
            “Ta…tapi, sejak penyakit itu datang, aku…aku…” tubuh Akane gemetar, tanpa terasa air matanya jatuh mengalir. Dengan kasih sayang, Ayahnya memeluk Akane erat.
            “Sudahlah tak usah kau pikirkan. Lebih baik kau jalani hari-harimu dengan hal-hal yang bermanfaat dan menyenangkan.”
            “Hmph.... baiklah... aku akan berusaha. Mungkin aku bisa punya teman banyak.” Katanya sambil mengusap air mata dan tersenyum.
            “Ayo kita berangkat. Masuklah ke dalam mobil, tuan Eikichi akan mengantar ke sekolah. Ayah harus menemui kolega Ayah, maaf ya, Ayah tidak bisa mendampingimu ke sekolah.” Katanya sambil mengelus kepala Akane.
            “Tidak apa-apa. Aku harus lebih mandiri dan tidak bergantung Ayah lagi. Selamat tinggal, Aku pergi dulu.”
            Dengan mantap kakinya menapak jalan dan masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan oleh pak Eikichi, sopir pribadi keluarganya. Ia membuka kaca jendela mobil dan melihat Ayahnya berdiri tegap menatapnya dari teras atas.
            “Do`akan aku, ya. Semoga hari pertamaku menyenangkan.” Teriak Akane dari dalam mobil saat mobil mulai distarter dan perlahan melaju. Ayahnya menatap dan membalasnya dengan senyuman.
~~~~~~~~~~~
            Ia tahu bukanlah pemecahan masalah yang baik untuk menyekolahkan Akane. Seharusnya ia banyak istirahat dan tidur di rumah saja tapi apa boleh buat, ia tak ingin masa remaja Akane terbuang begitu saja, tapi….
            Anakmu terkena penyakit Leukemia. Kemungkinan besar, jika penyakitnya terus berkembang, umurnya bahkan tak kan lebih dari 3 bulan lagi. Bersabalah.
            Ayah apakah aku akan mati? Ayah apakah aku akan mati seperti ibu? Aku tak mau Ayah.....
            Hal terakhir yang kan ku katakan padamu suamiku, kumohon jagalah Akane baik-baik. Aku tak ingin ia mengalami apa yang aku alami ini.....
            “Ma`afkan aku Nami. Aku tidak bisa melaksanakan kata-kata terakhirmu tapi aku akan berusaha menjaganya.” Kata Jun Shirayuki pada dirinya sendiri. Tiga tahun lalu, Akane divonis menderita kanker darah. Penyakit yang kemungkinan besar menurun dari ibunya yang telah meninggal enam tahun silam karena penyakit yang sama. Saat mendengar kabar bahwa dirinya juga mengidap penyakit yang sama dengan ibunya, Akane shock. Ia tidak diperbolehkan sekolah, tidak boleh berfikir terlalu keras dan harus menjaga kondisi tubuhnya. Seluruh hidupnya terkekang begitu saja. Jun yang merasa anaknya shock mengetahui kabar itu, mengajaknya pergi ke Jerman untuk menemui dokter kenalannya dan tinggal disana untuk sementara. Ia akan lakukan apapun demi anak semata wayangnya.
~~~~~~~~~~~
            Akane duduk gusar, ia bahkan tak pernah berfikir akan bersekolah di sekolahan umum sekali lagi setelah sempat terputus saat sekolah dasar. IA meremas-remas roknya, dudukpun ia tak nyaman. IA bingung harus mengatakan apa di depan teman-teman barunya. Ia takut kalu salah tingkah atau berkata tak jelas karena gugup.
            “Nona jangan takut, sekolah bukan tempat yang menyeramkan kok. Tidak perlu kuatir begitu. ” kata pak Eikichi yang dari tadi melihat gerak-gerik Akane dari kaca depan.
            “Benarkah? Lalu bagaimana aku bisa beradaptasi dengan mereka? Apa yang harus kulakukan? Aku nervous sekali....!”
            “Yang perlu nona lakukan hanyalah tersenyum, berlakulah sewajarnya, ramah dan tunjukkan bahwa nona bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat, nona pasti dapat teman banyak.”
            “Sesederhana itukah? Tapi aku tak yakin dengan “Tunjukkan kalau kau bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat.” Aku tak bisa melakukan apa-apa.”
            Pria itu tersenyum kecil dan berkata lagi, “Kita takkan tahu kalau belum dicoba kan, Nona? Anda sudah sampai saya hanya akan mengantar sampai depan kelas.”
            “Cepat sekali? Kurasa sekolah ini dekat sekali dari rumah.”
            “Benar sekali. Hanya ditempuh 15 menit saja dari rumah. Kalau sudah terbiasa, Nona bisa bersepeda dengan teman-teman. Rasanya menyenangkan sekali.” Kata pak Eikichi tulus
            “Benarkah?”
            “Tentu saja. Mari saya antar.”
            Pintu mobil ditutup. Mobil itu diparkir didepan halaman sekolah. Sekolah itu tampak sederhana dan berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang ada di Jerman
            Akane mulai masuk ke lorong sekolah. Jantungnya berdebar. Ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan teman-teman barunya. Lorong sekolah terasa panjang. Akane mengikuti Pak Eikichi berjalan dibelakangnya. Beberapa kelas ia lewati, tampak tenang saat pelajaran. Begini ya, suasana di sekolah itu? katanya dalam hati.
            “Pak ini Nona Akane Shirayuki yang baru saja pindah dari Jerman. Mohon Bantuannya.” Kata pak Eikichi. Akane yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum.
            “Oh, ya.. Mari saya antar ke kelas anda.” Kata pria berkaca mata minus yang tampak tua itu pada Akane.
            “Sudah, ya. Saya hanya mengantar nona sampai sini saja. Berjuanglah Nona. Semoga berhasil…!” kata pak Eikichi menyemangati. Akane tersenyum senang.
            “Doakan aku ya, paman…!!” katanya senang.
~~~~~~~~~~~
            Maaf kan aku. Aku kira kau adalah ayahku. Aku buru-buru. Selamat tinggal.
            Hanya itu yang dapat ia pikirkan sekarang. Meski sudah dua minggu berlalu, kata-kata itu masih terngiang di pikiran Satsuki. Gambaran gadis stasiun kereta yang bertemu tanpa disengaja. Ia hanya bertopang dagu memandang kelas yang begitu menjemukkannya. Di depannya duduk anak sombong yang sering mengejeknya. Betapa menjengkelkannya setipa hari harus bertemu dengannya. Satsuki menatap kaca jendela besar disampingnya. Ia melihat burung terbang bebas disana. Dapatkah aku bebas seperti mereka? Tanyanya dalam hati.
            “Bolehkan aku duduk disini, Ichikawa?” suara lembut gadis membuyarkan lamunannya. Siapa? Gadis staiun kereta itukah? Tidak, tidak mungkin, tapi suaranya hampir mirip. Apa salahnya untuk menerka. Satsuki menoleh untuk memastikan, jantungnya berdebar. Siapa gerangan gadis di hadapannya?
            Satsuki menoleh dan kecewa. Ternyata bukan. Gadis di hadapannya memang hampir mirip dengan gadis stasiun kereta yang bertemu dengannya. Tapi rambut gadis dihadapannya hitam bukan coklat seperti gadis itu. Matanya juga coklat bukan biru seperti yang ia lihat disana. Ia tampak kecewa dan berkata seakan membalas tatapan heran gadis itu.
            “Tentu saja. Silahkan.”
            Gadis itu duduk dan mulai menyiapkan peralatannya. Satsuki tak peduli. Ia melanjutkan memandang jendela dengan bertopang dagu. Kapan hari ini akan berakhir? Pikirnya.
~~~~~~~~~~~
            Diam saja. Itulah ekspresi awal dari teman sebangkunya. Ia tak berkata apapun selama pelajaran. Ia tampak serius dan tak peduli. Tapi anehnya, saat ia ditanya oleh pak Guru ia selalu bisa menjawab. Anak itu diam saja tampak cuek dengan keadaan sekitarnya. Akane mencuri pandang ke rahnya lelaki itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya cowok itu pikirkan, wajahnya tampak tenang tapi tak bisa menyembunyikan guratan kesdihan yang terpantul dari wajah cueknya itu.
            “Hai namaku Kusaka Hondo, aku anak pejabat tinggi di daerah ini. Sayang sekali, gadis secantik kau harus duduk bersebelahan dengan anak pemabuk ini...” kata cowok di depan Satsuki mengejek. Siapa anak cowok ini? Terlihat sombong sekali, padahal aku sama sekali tak menanyai siapa namanya, pikir Akane.
            “Oh, begitu... Salam kenal juga. Panggil saja aku Akane.” Kata Akane sambil mengulurkan tangannya dan lelaki tersebut menyambutnya.
            “Ya, Aku tahu. Nasibmu sungguh aneh sekali harus duduk bersebelahan dengannya. Anak pemabuk ini.” Kata cowok tersebut sekali lagi sambil menunjuk ke arah Satsuki. Akane berfikir, apa maksudnya anak pemabuk? Apakah Satsuki itu seorang pemabuk ya? Tapi kalau dilihat dari kenyataan, mana mungkin anak sepintar dia adalah pemabuk. Ia memandang Satsuki sesaat. Wajahnya tetap dingin tanpa ada ekspresi sama sekali.
~~~~~~~~~~~
            Sepi. Hari ini tetap sama saja seperti kemarin. Di rumahnya tak ada siapa-siapa kecuali adiknya. Satsuki menaruh tasnya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar adiknya yang ada di ruang atas. Ia mengetuk pintu kamar adiknya tapi tak ada jawaban dari dalam.
            “Hazuki, kakak boleh masuk?” katanya sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Ia mengetuk sekali lagi tetapi tetap tak ada jawaban dari dalam.
            “Kalau tidak menjawab, aku masuk ya...?” kata Satsuki lagi. Tetap tak ada jawaban dari dalam.
            Satsuki mendesah. Ia bingung harus bagaimana memperlakukan adik semata wayangnya itu. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar Hazuki. Ia melihat gadis berambut sebahu itu duduk di meja belajarnya dan memandang jendela yang ada di depannya. Gadis itu sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan kakaknya.
            “Hari ini, kau tidak kemana-mana lagi ya? Apaka tidak bosan terus-terusan di kamar?” kata Satsuki sambil duduk di kasur Hazuki.
            Ia memandangi adiknya. Gadis itu tetap diam. Ia tetap memandangi jendela di hadapannya. Tanpa ada sepatah kata pun terucap dari mulutnya bahkan mendesahpun tidak. Ia bagaikan patung hidup yang menatap jendela.
            Satsuki tahu sejak adiknya berumur 10 tahun, Hazuki telah menutup segala sesuatu tentang dirinya dari orang banyak. Ia sebenarnya tidak bisu, ia bahkan tak pernah bersikap dingin sebelumnya. Ia selalu bersikap ceria seperti halnya anak gadis lainnya samapi kejadian 3 tahun lalu membuat Hazuki trauma. Satsuki sendiri tak tahu bagaimana kejadiaanya karena Hazuki sama sekali tak pernah mau bercerita atau berbicara sejak kejadian itu. Ia hanya diberi tahu ibunya bahwa Hazuki mungkin trauma dengan perlakuan ayahnya. Sejak hari itu, ia jarang pergi ke sekolah. Ia terbiasa mengurung dirinya di kamar seharian.
            “Hari ini Hazuki mau makan apa? Nanti akan kakak belikan.” Ucap Satsuki sambil menatap adiknya. Tetap saja tak ada respon yang berarti.
            “Aku belikan ayam goreng mau?” tanya Satsuki. Hazuki tetap diam mematung tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
            “Kalau tak menjawab, ku anggap kau mengiyakan.” Kata Satsuki menyerah. Ia tetap tak bisa membuat Hazuki bicara. Satsuki beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Ia berbalik melirik Hazuki, tetap tak ada respon sama sekali. Satsuki mendesah sambil membuka pintu kamar Hazuki.
            Satu hal yang luput dari penglihatan Satsuki adalah ia tak sadar bahwa tetes air mata Hazuki jatuh membasahi lantai.
~~~~~~~~~~~
            “Ayah, hari ini aku mendapati teman yang menarik sekali.!” Kata Akane saat makan malam telah usai.
            “Baguslah. Siapa dia? Kenapa kau tertarik padanya?” balas Jun sambil mengiris kulit apel.
            “Hm... dia itu teman sebelahku. Ia bahkan belum bertanya siapa namaku. Bahkan terlihat sama sekali tak peduli.”
            “Benarkah? Apa dia bersikap baik padamu?” Jun memalingkan kepalanya dari apel yang ia iris.
            “Tidak, tidak kok. Ia diam saja selama pelajaran. Saat istirahat, ia memilih istirahat di kelas dan tetap duduk di bangkunya. Ia tampak tenang tapi aku tahu ia seperti sedang memikirkan sesuatu.”
            “Kenapa kau bisa tahu? Katamu ia bahkan tak mengajakmu bicara.”
            “Bukannya begitu. Meskipun sikapnya acuh, tapi wajahnya itu sangat-sangat.....” kata Akane mencoba menjelaskan.
            “Sangat apa? Tampan? Cantik?” kata Jun sambil memakan apelnya.
            “Bukan wajahnya sama sekali tak bisa ku gambarkan. Tapi seperti wajah orang gelisah dan banyak pikiran tapi ia juga terlihat tenang.”
            “Ternyata kau sudah belajar membaca wajah orang ya? Meski itu gagal.” Jun menggoda Akane. Akane cemberut melihat ayahnya yang meremehkannya.
            “Ah, Ayah... Aku serius!” kata Akane jengkel. Ia berjalan menuju tangga ke kamarnya.
            “Baiklah. Sudah kau minum obatmu?”
            “Iya. Aku sudah meminumnya. Hah... Rasanya aku sudah tak sabar lagi berangkat sekolah.” Kata Akane sambil tersenyum simpul.
            “Kenapa? Mau membaca wajah temanmu itu lagi?”
            “Tidak! Yang benar saja.”
            “Tunggu. Siapa nama temanmu itu Akane?”
            “Ichikawa.... Kalau tidak salah Satsuki Ichikawa. Begitulah kata teman-temanku yang kutanyai.”
~~~~~~~~~~~
            Hujan rintik-rintik mengguyur kota Tokyo malam ini. Dinginnya malam mulai merasuk ke celah-celah jendela. Hari ini pun Ibu satsuki pulang malam. Ibunya yang bekerja di salah satu kantor telekomunikasi 24 jam memang terbiasa pulang telat. Bahkan ibunya sudah merasa biasa kalau harus pulang telat setiap hari dan meninggalkan kedua anaknya dirumah. Ia merasa satsuki sudah dewasa dan bisa menjaga adiknya perempuannya. Selain itu ia juga lebih leluasa kalau tak bertemu suaminya.
            Sedangkan ayah Satsuki? Ah, tak usah dipikirkan. Kerjanya Cuma mabuk-mabukan. Pulang ke rumahpun jarang. Kalaupun pulang, kerjanya hanya meminta uang dan membentak-bentak ibunya. Lelaki seperti itu lebih baik tak usah pulang saja.
            Satsuki memandangi jendela yang penuh dengan titik-titik air hujan. Ia mendekapa tangannya dan menekuk lututnya di kursi ruang tamu. Terdengar suara tapak kaki menuruni tangga. Satsuki memandang adiknya sejenak tapi Hazuki sama sekali tak mau peduli. Ia terus berjalan dan mengambil air minum dibawah. Setelah selesai meneguk semua minumannya, ia kembali naik ke kamarnya tanpa sepatah katapun terucap.
            Satsuki menunduk lagi. Ia bosan dengan keadaan rumahnya yang memuakkan. Ayahnya yang pemabuk, ibunya yang gila kerja, adiknya pendiam dan dirinya? Apa yang bisa ia lakukan untuk merubah keadaan keluarganya? Ia sendiri juga muak dengan dirinya. Muak dengan dirinya yang hanya bisa diam sajadan takut mengutarakan semuanya. Satsuki menundukkan kepala, tertunduk lemas dalam kesendirian.
~~~~~~~~~~~