WELCOME

SELAMAT DATANG di BLOG ku yang masih sederhana ini.

Makasih sudah mau berkunjung.... ^^

Jumat, 20 Agustus 2010

CHOCHOLATE MUSIC~Bag 1~

SATU

            “Akimoto Erika?”
            “Hadir”
“Hanataro Tsuji?”
            “Hadir”
            Ichikawa Satsuki?”
            Ichikawa Satsuki?”
            “Apakah hari ini Ichikawa masuk sekolah?”
            “Hei, anak pemabuk! Kau dengar Pak Guru sudah memanggil namamu tiga kali. Apa kau juga sedang mabuk?” kata Hondo mengejek.
            Terdengar suara gelak tawa di kelas tersebut. Mereka menertawakan Satsuki yang melamun dan tidak sadar kalau namanya telah dipanggil tiga kali oleh Pak Guru.
            “Diam kalian! Bapak hanya bertanya apakah hari ini Ichikawa masuk sekolah?” kata Pak Guru menenangkan kelas.
            “Hadir”
            Ia mengangkat tangannya berkata dengan pasrah dan kembali bertopang dagu menatap pemandangan diluar kaca sebelahnya. Disinilah ia terjebak. Duduk dibangku depannya Kusaka Hondo, anak seorang pejabat tinggi daerah. Ia terkenal dikalangan semua anak karena kaya raya. Ia sering mengejek Satsuki. Disekitarnya terdapat banyak anak buah Hondo. Ia sudah terbiasa diejek.
            Ayah Satsuki adalah penganggurandan pemabuk berat sedangkan ibunya seorang pekerja kantoran yang sering pulang malam. Semua bermula saat ayahnya datang untuk mengambil raport Satsuki. Saat nama Satsuki dipanggil karena ia juara kelas lagi, bukannya senang, ayah Satsuki malah berkata aneh-aneh karena mabuk dihadapan seluruh orangtua teman-temannya. Terpaksa guru kelasnya menyuruh ayahnya pulang. Sejak saat itulah ia sering diejek dengan sebutan anak pemabuk, anak orang gila atau apalah. Meskipun terus menerus diejek, ia sama sekali tidak tersinggung, awalnya memang sakit tapi setelah sekian lama, ia sudah tak dapat merasakan apapun. Hatinya telah sakit. Bahkan telah hancur berkeping-keping sampai-sampai kepingannya telah berubah jadi debu.
            “Bapak akan memperkenalkan anak pindahan baru dari Jerman. Silahkan perkenalkan dirimu.”
            Gadis berambut hitam sedada itu maju selangkah ke depan dengan gugup. Wajahnya tampak pucat.
            “Seperti yang Pak Guru katakana tadi, aku baru pindah dari Jerman. Sebenarnya, aku orang Jepang. Tapi saat berumur 12 tahun aku mengikuti ayahku pindah ke Jerman. Namaku Akane Shirayuki. Mohon kerja samanya.” kata gadis itu. Ia mundur lagi selangkah ke belakang.
            “Terima kasih. Kau bisa duduk di samping bangku Ichikawa untuk sementara, bangku nomor tiga dekat jendela itu. Silahkan.” kata Pak Guru sambil menunjuk ke bangku Satsuki.
            Baiklah. Terima kasih.”
            Akane berjalan perlahan, mendekati bangku Satsuki. Ia melihat Ichikawa yang sedang asyik melamun memandangi kaca dan tidak menyadari kalau ia ada didepannya.
 “Selamat pagi, boleh aku duduk disini?” katanya lembut dengan tersenyum.
Satsuki terkejut dari lamunannya, ia seperti mengenal suara ini. Mungkinkah gadis itu? Gadis yang bertemu dengannya di stasiunkah? Ia berbalik dan menatap Akane dengan teliti.
“Bolehkah aku duduk disini, Ichikawa?” 
            “Tentu saja.”
            “Terima kasih.”
            Ternyata bukan. Gadis itu bukan gadis yang ia temui di stasiun. Satsuki kembali bertopang dagu memandangi kaca lagi.
~~~~~~~~~~~
            “Aku takut Ayah, aku begitu nervous.” Katanya sambil meremas tangannya.
            “Tenanglah Akane, tidak ada yang perlu ditakutkan. Sekolah bukanlah tempat yang menyeramkan.”
            “Ta…tapi, ini pertama kalinya aku masuk sekolah lagi. Apalagi disekolahan umum. Aku tidak terbiasa untuk merasakan keadaan sekolah pada umumnya.”
            “Tidak apa-apa disan kau pasti dapat teman banyak. Tak perlu kuatir.”
            “Ta…tapi, sejak penyakit itu datang, aku…aku…” tubuh Akane gemetar, tanpa terasa air matanya jatuh mengalir. Dengan kasih sayang, Ayahnya memeluk Akane erat.
            “Sudahlah tak usah kau pikirkan. Lebih baik kau jalani hari-harimu dengan hal-hal yang bermanfaat dan menyenangkan.”
            “Hmph.... baiklah... aku akan berusaha. Mungkin aku bisa punya teman banyak.” Katanya sambil mengusap air mata dan tersenyum.
            “Ayo kita berangkat. Masuklah ke dalam mobil, tuan Eikichi akan mengantar ke sekolah. Ayah harus menemui kolega Ayah, maaf ya, Ayah tidak bisa mendampingimu ke sekolah.” Katanya sambil mengelus kepala Akane.
            “Tidak apa-apa. Aku harus lebih mandiri dan tidak bergantung Ayah lagi. Selamat tinggal, Aku pergi dulu.”
            Dengan mantap kakinya menapak jalan dan masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan oleh pak Eikichi, sopir pribadi keluarganya. Ia membuka kaca jendela mobil dan melihat Ayahnya berdiri tegap menatapnya dari teras atas.
            “Do`akan aku, ya. Semoga hari pertamaku menyenangkan.” Teriak Akane dari dalam mobil saat mobil mulai distarter dan perlahan melaju. Ayahnya menatap dan membalasnya dengan senyuman.
~~~~~~~~~~~
            Ia tahu bukanlah pemecahan masalah yang baik untuk menyekolahkan Akane. Seharusnya ia banyak istirahat dan tidur di rumah saja tapi apa boleh buat, ia tak ingin masa remaja Akane terbuang begitu saja, tapi….
            Anakmu terkena penyakit Leukemia. Kemungkinan besar, jika penyakitnya terus berkembang, umurnya bahkan tak kan lebih dari 3 bulan lagi. Bersabalah.
            Ayah apakah aku akan mati? Ayah apakah aku akan mati seperti ibu? Aku tak mau Ayah.....
            Hal terakhir yang kan ku katakan padamu suamiku, kumohon jagalah Akane baik-baik. Aku tak ingin ia mengalami apa yang aku alami ini.....
            “Ma`afkan aku Nami. Aku tidak bisa melaksanakan kata-kata terakhirmu tapi aku akan berusaha menjaganya.” Kata Jun Shirayuki pada dirinya sendiri. Tiga tahun lalu, Akane divonis menderita kanker darah. Penyakit yang kemungkinan besar menurun dari ibunya yang telah meninggal enam tahun silam karena penyakit yang sama. Saat mendengar kabar bahwa dirinya juga mengidap penyakit yang sama dengan ibunya, Akane shock. Ia tidak diperbolehkan sekolah, tidak boleh berfikir terlalu keras dan harus menjaga kondisi tubuhnya. Seluruh hidupnya terkekang begitu saja. Jun yang merasa anaknya shock mengetahui kabar itu, mengajaknya pergi ke Jerman untuk menemui dokter kenalannya dan tinggal disana untuk sementara. Ia akan lakukan apapun demi anak semata wayangnya.
~~~~~~~~~~~
            Akane duduk gusar, ia bahkan tak pernah berfikir akan bersekolah di sekolahan umum sekali lagi setelah sempat terputus saat sekolah dasar. IA meremas-remas roknya, dudukpun ia tak nyaman. IA bingung harus mengatakan apa di depan teman-teman barunya. Ia takut kalu salah tingkah atau berkata tak jelas karena gugup.
            “Nona jangan takut, sekolah bukan tempat yang menyeramkan kok. Tidak perlu kuatir begitu. ” kata pak Eikichi yang dari tadi melihat gerak-gerik Akane dari kaca depan.
            “Benarkah? Lalu bagaimana aku bisa beradaptasi dengan mereka? Apa yang harus kulakukan? Aku nervous sekali....!”
            “Yang perlu nona lakukan hanyalah tersenyum, berlakulah sewajarnya, ramah dan tunjukkan bahwa nona bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat, nona pasti dapat teman banyak.”
            “Sesederhana itukah? Tapi aku tak yakin dengan “Tunjukkan kalau kau bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat.” Aku tak bisa melakukan apa-apa.”
            Pria itu tersenyum kecil dan berkata lagi, “Kita takkan tahu kalau belum dicoba kan, Nona? Anda sudah sampai saya hanya akan mengantar sampai depan kelas.”
            “Cepat sekali? Kurasa sekolah ini dekat sekali dari rumah.”
            “Benar sekali. Hanya ditempuh 15 menit saja dari rumah. Kalau sudah terbiasa, Nona bisa bersepeda dengan teman-teman. Rasanya menyenangkan sekali.” Kata pak Eikichi tulus
            “Benarkah?”
            “Tentu saja. Mari saya antar.”
            Pintu mobil ditutup. Mobil itu diparkir didepan halaman sekolah. Sekolah itu tampak sederhana dan berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang ada di Jerman
            Akane mulai masuk ke lorong sekolah. Jantungnya berdebar. Ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan teman-teman barunya. Lorong sekolah terasa panjang. Akane mengikuti Pak Eikichi berjalan dibelakangnya. Beberapa kelas ia lewati, tampak tenang saat pelajaran. Begini ya, suasana di sekolah itu? katanya dalam hati.
            “Pak ini Nona Akane Shirayuki yang baru saja pindah dari Jerman. Mohon Bantuannya.” Kata pak Eikichi. Akane yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum.
            “Oh, ya.. Mari saya antar ke kelas anda.” Kata pria berkaca mata minus yang tampak tua itu pada Akane.
            “Sudah, ya. Saya hanya mengantar nona sampai sini saja. Berjuanglah Nona. Semoga berhasil…!” kata pak Eikichi menyemangati. Akane tersenyum senang.
            “Doakan aku ya, paman…!!” katanya senang.
~~~~~~~~~~~
            Maaf kan aku. Aku kira kau adalah ayahku. Aku buru-buru. Selamat tinggal.
            Hanya itu yang dapat ia pikirkan sekarang. Meski sudah dua minggu berlalu, kata-kata itu masih terngiang di pikiran Satsuki. Gambaran gadis stasiun kereta yang bertemu tanpa disengaja. Ia hanya bertopang dagu memandang kelas yang begitu menjemukkannya. Di depannya duduk anak sombong yang sering mengejeknya. Betapa menjengkelkannya setipa hari harus bertemu dengannya. Satsuki menatap kaca jendela besar disampingnya. Ia melihat burung terbang bebas disana. Dapatkah aku bebas seperti mereka? Tanyanya dalam hati.
            “Bolehkan aku duduk disini, Ichikawa?” suara lembut gadis membuyarkan lamunannya. Siapa? Gadis staiun kereta itukah? Tidak, tidak mungkin, tapi suaranya hampir mirip. Apa salahnya untuk menerka. Satsuki menoleh untuk memastikan, jantungnya berdebar. Siapa gerangan gadis di hadapannya?
            Satsuki menoleh dan kecewa. Ternyata bukan. Gadis di hadapannya memang hampir mirip dengan gadis stasiun kereta yang bertemu dengannya. Tapi rambut gadis dihadapannya hitam bukan coklat seperti gadis itu. Matanya juga coklat bukan biru seperti yang ia lihat disana. Ia tampak kecewa dan berkata seakan membalas tatapan heran gadis itu.
            “Tentu saja. Silahkan.”
            Gadis itu duduk dan mulai menyiapkan peralatannya. Satsuki tak peduli. Ia melanjutkan memandang jendela dengan bertopang dagu. Kapan hari ini akan berakhir? Pikirnya.
~~~~~~~~~~~
            Diam saja. Itulah ekspresi awal dari teman sebangkunya. Ia tak berkata apapun selama pelajaran. Ia tampak serius dan tak peduli. Tapi anehnya, saat ia ditanya oleh pak Guru ia selalu bisa menjawab. Anak itu diam saja tampak cuek dengan keadaan sekitarnya. Akane mencuri pandang ke rahnya lelaki itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya cowok itu pikirkan, wajahnya tampak tenang tapi tak bisa menyembunyikan guratan kesdihan yang terpantul dari wajah cueknya itu.
            “Hai namaku Kusaka Hondo, aku anak pejabat tinggi di daerah ini. Sayang sekali, gadis secantik kau harus duduk bersebelahan dengan anak pemabuk ini...” kata cowok di depan Satsuki mengejek. Siapa anak cowok ini? Terlihat sombong sekali, padahal aku sama sekali tak menanyai siapa namanya, pikir Akane.
            “Oh, begitu... Salam kenal juga. Panggil saja aku Akane.” Kata Akane sambil mengulurkan tangannya dan lelaki tersebut menyambutnya.
            “Ya, Aku tahu. Nasibmu sungguh aneh sekali harus duduk bersebelahan dengannya. Anak pemabuk ini.” Kata cowok tersebut sekali lagi sambil menunjuk ke arah Satsuki. Akane berfikir, apa maksudnya anak pemabuk? Apakah Satsuki itu seorang pemabuk ya? Tapi kalau dilihat dari kenyataan, mana mungkin anak sepintar dia adalah pemabuk. Ia memandang Satsuki sesaat. Wajahnya tetap dingin tanpa ada ekspresi sama sekali.
~~~~~~~~~~~
            Sepi. Hari ini tetap sama saja seperti kemarin. Di rumahnya tak ada siapa-siapa kecuali adiknya. Satsuki menaruh tasnya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar adiknya yang ada di ruang atas. Ia mengetuk pintu kamar adiknya tapi tak ada jawaban dari dalam.
            “Hazuki, kakak boleh masuk?” katanya sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Ia mengetuk sekali lagi tetapi tetap tak ada jawaban dari dalam.
            “Kalau tidak menjawab, aku masuk ya...?” kata Satsuki lagi. Tetap tak ada jawaban dari dalam.
            Satsuki mendesah. Ia bingung harus bagaimana memperlakukan adik semata wayangnya itu. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar Hazuki. Ia melihat gadis berambut sebahu itu duduk di meja belajarnya dan memandang jendela yang ada di depannya. Gadis itu sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan kakaknya.
            “Hari ini, kau tidak kemana-mana lagi ya? Apaka tidak bosan terus-terusan di kamar?” kata Satsuki sambil duduk di kasur Hazuki.
            Ia memandangi adiknya. Gadis itu tetap diam. Ia tetap memandangi jendela di hadapannya. Tanpa ada sepatah kata pun terucap dari mulutnya bahkan mendesahpun tidak. Ia bagaikan patung hidup yang menatap jendela.
            Satsuki tahu sejak adiknya berumur 10 tahun, Hazuki telah menutup segala sesuatu tentang dirinya dari orang banyak. Ia sebenarnya tidak bisu, ia bahkan tak pernah bersikap dingin sebelumnya. Ia selalu bersikap ceria seperti halnya anak gadis lainnya samapi kejadian 3 tahun lalu membuat Hazuki trauma. Satsuki sendiri tak tahu bagaimana kejadiaanya karena Hazuki sama sekali tak pernah mau bercerita atau berbicara sejak kejadian itu. Ia hanya diberi tahu ibunya bahwa Hazuki mungkin trauma dengan perlakuan ayahnya. Sejak hari itu, ia jarang pergi ke sekolah. Ia terbiasa mengurung dirinya di kamar seharian.
            “Hari ini Hazuki mau makan apa? Nanti akan kakak belikan.” Ucap Satsuki sambil menatap adiknya. Tetap saja tak ada respon yang berarti.
            “Aku belikan ayam goreng mau?” tanya Satsuki. Hazuki tetap diam mematung tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
            “Kalau tak menjawab, ku anggap kau mengiyakan.” Kata Satsuki menyerah. Ia tetap tak bisa membuat Hazuki bicara. Satsuki beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Ia berbalik melirik Hazuki, tetap tak ada respon sama sekali. Satsuki mendesah sambil membuka pintu kamar Hazuki.
            Satu hal yang luput dari penglihatan Satsuki adalah ia tak sadar bahwa tetes air mata Hazuki jatuh membasahi lantai.
~~~~~~~~~~~
            “Ayah, hari ini aku mendapati teman yang menarik sekali.!” Kata Akane saat makan malam telah usai.
            “Baguslah. Siapa dia? Kenapa kau tertarik padanya?” balas Jun sambil mengiris kulit apel.
            “Hm... dia itu teman sebelahku. Ia bahkan belum bertanya siapa namaku. Bahkan terlihat sama sekali tak peduli.”
            “Benarkah? Apa dia bersikap baik padamu?” Jun memalingkan kepalanya dari apel yang ia iris.
            “Tidak, tidak kok. Ia diam saja selama pelajaran. Saat istirahat, ia memilih istirahat di kelas dan tetap duduk di bangkunya. Ia tampak tenang tapi aku tahu ia seperti sedang memikirkan sesuatu.”
            “Kenapa kau bisa tahu? Katamu ia bahkan tak mengajakmu bicara.”
            “Bukannya begitu. Meskipun sikapnya acuh, tapi wajahnya itu sangat-sangat.....” kata Akane mencoba menjelaskan.
            “Sangat apa? Tampan? Cantik?” kata Jun sambil memakan apelnya.
            “Bukan wajahnya sama sekali tak bisa ku gambarkan. Tapi seperti wajah orang gelisah dan banyak pikiran tapi ia juga terlihat tenang.”
            “Ternyata kau sudah belajar membaca wajah orang ya? Meski itu gagal.” Jun menggoda Akane. Akane cemberut melihat ayahnya yang meremehkannya.
            “Ah, Ayah... Aku serius!” kata Akane jengkel. Ia berjalan menuju tangga ke kamarnya.
            “Baiklah. Sudah kau minum obatmu?”
            “Iya. Aku sudah meminumnya. Hah... Rasanya aku sudah tak sabar lagi berangkat sekolah.” Kata Akane sambil tersenyum simpul.
            “Kenapa? Mau membaca wajah temanmu itu lagi?”
            “Tidak! Yang benar saja.”
            “Tunggu. Siapa nama temanmu itu Akane?”
            “Ichikawa.... Kalau tidak salah Satsuki Ichikawa. Begitulah kata teman-temanku yang kutanyai.”
~~~~~~~~~~~
            Hujan rintik-rintik mengguyur kota Tokyo malam ini. Dinginnya malam mulai merasuk ke celah-celah jendela. Hari ini pun Ibu satsuki pulang malam. Ibunya yang bekerja di salah satu kantor telekomunikasi 24 jam memang terbiasa pulang telat. Bahkan ibunya sudah merasa biasa kalau harus pulang telat setiap hari dan meninggalkan kedua anaknya dirumah. Ia merasa satsuki sudah dewasa dan bisa menjaga adiknya perempuannya. Selain itu ia juga lebih leluasa kalau tak bertemu suaminya.
            Sedangkan ayah Satsuki? Ah, tak usah dipikirkan. Kerjanya Cuma mabuk-mabukan. Pulang ke rumahpun jarang. Kalaupun pulang, kerjanya hanya meminta uang dan membentak-bentak ibunya. Lelaki seperti itu lebih baik tak usah pulang saja.
            Satsuki memandangi jendela yang penuh dengan titik-titik air hujan. Ia mendekapa tangannya dan menekuk lututnya di kursi ruang tamu. Terdengar suara tapak kaki menuruni tangga. Satsuki memandang adiknya sejenak tapi Hazuki sama sekali tak mau peduli. Ia terus berjalan dan mengambil air minum dibawah. Setelah selesai meneguk semua minumannya, ia kembali naik ke kamarnya tanpa sepatah katapun terucap.
            Satsuki menunduk lagi. Ia bosan dengan keadaan rumahnya yang memuakkan. Ayahnya yang pemabuk, ibunya yang gila kerja, adiknya pendiam dan dirinya? Apa yang bisa ia lakukan untuk merubah keadaan keluarganya? Ia sendiri juga muak dengan dirinya. Muak dengan dirinya yang hanya bisa diam sajadan takut mengutarakan semuanya. Satsuki menundukkan kepala, tertunduk lemas dalam kesendirian.
~~~~~~~~~~~











Tidak ada komentar:

Posting Komentar