WELCOME

SELAMAT DATANG di BLOG ku yang masih sederhana ini.

Makasih sudah mau berkunjung.... ^^

Jumat, 20 Agustus 2010

CHOCHOLATE MUSIC~Bag 2~

DUA


            “Kumohon…” kata Akane pada ayahnya.
            “Tapi kalau kau berangkat sekolah sendirian, aku takut terjadi apa-apa padamu.” Kata ayahnya cemas.
“Tak apa. Ayah tenang saja. Lihatlah aku sudah baikan kok.” Akane tetap bersikeras.
Jun memandangi Akane lekat-lekat. Apanya yang sehat? Wajah Akaneselalu nampak pucat. Jun bingung harus berkata apa pada anaknya. Ia takut terjadi sesuatu pada Akane.
“Tidak usah. Kau harusnya senang sudah diantar dengan mobil.”
“Kumohon aku ingin terlihat seperti anak-anak normal lainnya. Aku juga ingin berangkat bersama dengan teman-teman baruku. Rasanya pasti seru...!”
“Hah... terserah padamu saja.kalau keinginanmu begitu, besok kau boleh berangkat dengan sepeda tapi ada syaratnya..!”
“Apa syaratnya?”
“Selama tujuh hari ke depan, pak Eikichi akan memantaumu dari jauh.”
“Oh.. jangan, Ayah... itu sama saja aku seperti diintai orang,... aku takkan isa bercanda dengan teman-temanku nanti. Aku bisa lakukan sendiri.” Kata Akane sambil memohon. Jawaban yang berat untk Jun. Ia masih cemas. Akane tersenyum padanya. Ia takut kehilangan senyuman itu.
            “Baiklah. Kalau itu keinginanmu. Selama tidur, Akane.”
            “Yey... Terima kasih Ayah.... Selamat Tidur juga.”
            Jun berjalan mendekati pintu, ia menoleh menatap Akane sekali lagi. Akane tersenyum manis padanay. Ia berjalan keluar dengan perasaan lega bercampur cemas.
~~~~~~~~~~~
            Hujan mulai mereda tapi rintik-rintik air masih terlihat diluar. Satsuki tertidur nyenyak di sofa depan. Ia masih menunggu ibunya pulang. Telepon rumah berdering nyarig. Satsuki terbangun dan mengerjapkan mata. Ia berusaha berjalan linglung ke arah benda yang berbunyi nyaring tersebut.
            “Halo. Dari siapa? mencari siapa?” katanya asal-asalan. Terdengar jawaban dari seberang.
            “Ibu? Ibu dimana? Apa? Menjemput ibu? Baiklah tunggu sebentar. Aku akan segera kesana.”
            Satsuki menutup teleponnya. Ia berlari mengambil sebuah payung dan jaket. Perlahan, ia membuka pintu dan mulai berlari di tengah dinginnya malam.
~~~~~~~~~~~
            Wanita itu menutup telepon genggamnya. Sekarang, ia hanya perlu menunggu anak lelakinya datang menjemput. Wanita itu nampak kurus, tulang pipinya sedikit menonjol. Tapi guratan di wajahnya itulah bukti dari kerja kerasnya selama ini untuk menghidupi kedua anaknya dan seorang suami yang telah melimpahkan seluruh kewajibannya padanya. Ia menatap jam tangannya yang mulai menguap, tamapk jarum pendek menunjuk angka 2 dan jarum panjang menunjuk angka 6. udara semakin dingin setelah hujan reda meskipun masih gerimis. Sesosok bayangan orang berlari mendekatinya. Bayangan itu akhirnya membentuk sesosok wujud lelakimuda yang datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa payung.
            “Ibu…Ibu..” katanya sambil terengah-engah.
            “Kenapa kau lari-lari?” kata wanita itu sambil membuka payung.
            “Aku takut ibu sudah menunggu terlalu lama.”
            “Bicara apa kau? Cepat kta pulang udara sudah semakin dingin!”
            Satsuki berjalan beriringan dengan ibunya. Sesekali ia menatap wajah ibunya. Lelah itulah yang terpantul dari wajah wanita itu.
~~~~~~~~~~~
            Matahari bersinar dengan bersahabat. Akane mengayuh pelan sepedanya. Ia senang sekali karena diperbolehkan bersepeda saat sekolah. Jalan yang ia lewati cukup sepi. Hanya ada sedikit sepeda yang berlalu lalang. Ia memandang sekelilingnya tampak sepi sekali. Rumah-rumah seperti tak ada penghuninya. Ia
menerka pasti mereka telah berangkat kerja dari tadi pagi.
            Sesekali ia melihat gadis yang sebaya dengannya lewat. Banyak yang berangkat bersama. Kadang ada yang menyapanya tapi Akane sama sekali tidak kenal mereka mungkin mereka sekelas, tapi Akane belum hafal betul nama teman-teman sekelasnya. Ia hanya membalas sapaan mereka dengan tersenyum sambil anggukan kepala. Topinya sedikit bergoyang saat ia menganggukan kepalanya. Ia berhenti dan membetulkan letak topinya. Ayahnya menyuruhnya untuk memakai topi agar tidak kepanasan.
            Angin musim semi yang hangat berhembus kencang. Saat ia melewati jala yang teduh karena dikelilingi pohon besar, angin tersa menerpa wajahnya dengan keras. Ia melewati sebuah bukit hijau, saat itu juga topinya terbang dan tersangkut di pohon di atas bukit. Akane memarkir sepedanya dibawah dan berlari menaiki tangga naik yang batunya sudah tidak rata lagi. Topinya tersangkut di dahan pohon yang cukup tinggi. Ia berusaha mengambilnya dengan kayu, tetap saja topinya hanya bergoyang sedikit. Ia terus berusaha berharap angin kencang datang
Dan membuat topinya jatuh. Tanpa ia sadari, seseorang datang dan menawarkan bantuan pada Akane. “Butuh bantuan, Akane?” katanya lembut.
            Akane menoleh. Ia melihat seorang gadis berambut pendek dan seumur dengannya. Ia berdiri tepat dibelakan Akane. Gadis itu memakai kacamata dan kelihatannya lebih tinggi darinya.
            “Maaf, kau siapa? Kenapa bisa mengenalku?” kata Akane sambil mengingat-ingat.
            “Mungkin kau belum mengenalku. Kita sekelas kan?” katanya sabil tersenyum.
            “Oh... Benarkah? Siapa namamu?” kata Akane bersemangat.
            “Namaku Rin Hayashi. Salam kenal. Oh, iya kenapa topimu bisa tersangkut disana?” katanya sambil memandang ke atas.
            “Angin bertiup kencang tadi dan angin yang menerbangkan topiku.
            “Hmp… kurasa aku bisa membantumu.” Katanya sambil mengambil tongkat kayu dan meloncat-loncat berusaha menjatuhkan topi Akane. Setelah beberapa menit berlalu, topi Akane akhirnya jatuh ke tanah. Dengan girang, Akane mengambil topinya dan membersihkannya dari kotoran yang menempel di topinya.
            “Terimakasih banyak. Hayashi!” kata Akane sambil membungkuk.
            “Ah, tak usah berlebihan. Panggil aku Rin saja! Ayo cepat kita berangkat sebelum telat.” Ajak gadis itu sambil menggandeng tangan Akane.
~~~~~~~~~~~
            Pagi ini disekolah, Akane melihat bangku sebelahnya masih kosong. Ia menatap jam tangannya. Hampir pukul tujuh. Sebentar lagi pasti bel berbunyi tapi kawan sebelahnya masih belum menampakkan batang hidungnya.
            Benar pikirannya beberapa saat kemudian bel masuk berdering. Kawannya masih belum menampakkan wujudnya. Akane gelisah, apakah ia tidak masuk sekolah? Karena apa? Tidak ada satupun surat yang dikirim keluarganya ke sekolah.
            “Rin Hayashi?”
            “Hadir”
            Pak Guru mulai mengabsen muridnya. Akane semakin bingung apa yang harus ia katakan ke Pak Guru saat nama teman si sebelahnya dipanggil. Nama-nam temannya mulai terucap dan dijawab oleh si pemilik nama. Akhirnya datang juga...
            “Satsuki Ichikawa?” kata pak guru yang masih menekuri buku absen siswa. Kelas hening sejenak.
            “Apa Ichikawa masuk hari ini?” Pak Guru mulai menatap bangku Satsuki yang kosong lalu mata minusnya yang memakai kacamata itu berpindah menatap Akane. Dia gelagapan bingung mau berbuat apa. Taka ada satupun kata-kata ynag terlintas di pikirannya.
            “eng.... eng.....” kata-katanya putus-putus.
            “Pasti ia sibuk mengurusi ayahnya yang pemabuk.” Kata Hondo memotong. Sontak sekelas tertawa. Pak Guru geram dan menaruh buku absen di meja. Ia memandang sekelas dengan tatapan tajam. Kelas kembali hening. Akane masih melihat ada beberapa anak yang tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. Ia mengernyitkan dahi, apa yang sebenarnya terjadi disini? pikirnya dalam hati.
            Pintu kelas diketuk pelan. Pak Guru mempersilahkan masuk. Tampak seorang pemuda berdiri dengan tampang tak karuan di depan pintu. Pak Guru mempersilahkan pemuda itu masuk. Akane terkejut bukan kepalang. Itu Satsuki! Katanya dalam hati.
            “Mengapa kau bisa datang terlambat, Ichikawa?”
            “Maaf. Aku bangun kesiangan tadi.”
            “Ya, sudahlah. Karena nilai-nilaimu bagus di mata pelajaranku, aku beri dispensasi. Duduklah.”        
            “Terima Kasih.” Satsuki membungkukkan badan dan berjalan ke arah bangkunya. Akane sempat melihat wajahnya seperti banyak masalah tapi tetap saja lelaki disampingnya kembali diam dan memasang tampang seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.
~~~~~~~~~~~
            Hari terasa sangat cepat berlalu. Bel pulang berbunyi nyaring. Akane mengajak Rin pulang bersamanya tapi ia menolak, katanya ia ada exkul Ikebana* setelah pulang sekolah. Akhirnya Akane pulang sendirian. Hari ini tidak terlalu panas tapi Akane tetap memakai topinya. Ia melewati jalan yang ia lewati tadi pagi. Angin berhembus pelan, menyejukkan suasana. Akane mengayuh sepedanya pelan. Suasana daerah itu tetap saja sepi tetapi tak sesepi saat ia berangkat sekolah tadi pagi. Ada beberapa anak kecil berlarian dan bermain petak umpet bersama. Sejenak ia teringat masa kecilnya. Ia ingat sejak umur 12 tahun, saat penyakit itu menyerang, ia sudah tak bisa berlarian bebas seperti anak-anak tersebut. Ia harus menjalani Kemoterapi sejak kecil dan terus-terusan tinggal dirumah sakit. Tanpa terasa setitik air mata menetes dari pelupuk matanya.
            Ia tetap mengayuh sepedanya, pelan-pelan ia memasuki jalanan yang cukup rindang karena banyak pepohonan yang ditanam disana. Akane berhenti di tempat topinya yang tersangkut tadi pagi. Ia ingin beristirahat sebentar disana.
            Tangga batunya bahkan sudah tak tampak rata lagi. Ia menaikinya dengan perlahan. Sesampainya diatas ia disambut oleh hembusan angin lembut yang memainkan gerai-gerai rambutnya. Akane melepas topinya dan memasukkannya ke dalam tas.
            Ia menatap ke depan. Pemandangan dari bukit kecil tersebut sangat menakjubkan. Ia bahkan tak mengedipkan matanya saat melihat pemandangan kota Tokyo dari atas bukit tersebut. Pemandangan kota yang jarang bisa ia lihat saat di Jerman. Gedung bertingkat banyak disana, ada taman, rel kereta, semuanya bisa ia lihat dari sini. Ia membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Sebatang coklat. Akane menaruh tasnya di tanah. Ia membuka kertas pembungkus coklat tersebut dan memakannya. Tersungging senyum manis di wajahnya.
            Ia kembali menatap pemandangan kota itu dari atas sambil memakan coklatnya. Angin berhembus lembut. Sejenak, ia merasa bisa melupakan masalahnya. Masalah tentang penyakitnya dan anak lelaki yang selalu bersikap dingin padanya. Akane menutup matanya dan merasakan udara menembus tubuhnya. Ah, sebuah pikiran terlintas di otaknya. Mungkin bukanlah ide yang bagus tapi apa salahnya untuk dicoba?
~~~~~~~~~~~
            Dengan lunglai ia membuka pintu rumahnya. Sepi. Keadaan rumanya tetap saja begitu bahkan cenderung tidak akan berubah. Seperti biasanya, ia naik ke tangga menuju kamar adiknya. Ia mengetuk pintu kamar adiknya. Tidak ada jawaban dari dalam. Satsuki perlahan membuka pintu kamar Hazuki. Ia tak ada di kamarnya. Semua barang Hazuki tertata rapi.satsuki mengernyitkan dahi. Kemana adiknya pergi? Ia mulai mencari adiknya ke seluruh penjuru rumah tapi nihil. Perasaan Satsuki campur aduk. Ia takut terjadi apa-apa dengan Hazuki.
            Pintu belakang rumahnya terbuka. Satsuki berjalan untuk memastikan semoga Hazuki ada disana. Dengan perasaan campur aduk, ia melongok keluar dan melihat Hazuki mengelus seekor anak kucing. Ia melihat adiknya dengan perasaan sedih. Rasanaya ia ingin berteriak sekeras-kerasnya agar dunia tahu betapa sedihnya dia. Hazuki terlihat sangat manis, sebuah senyuman tersungging di pipinya. Satsuki hanya bisa menatap dan meratap.
~~~~~~~~~~~
            “Aku pulang...!!” kata Akane riang.
            “Kau sudah pulang? Kenapa sesore ini?” kata Jun sambil menutup koran sore yang ia baca.
            “Hehehe... Tadi aku sempat mampir ke tempat dimana topiku tersangkut. Eh, maksudku, aku tadi ketempat topiku yang tersangkut tadi pagi di dahan pohon saat aku akan berangkat sekolah.... ” Akane mulai bercerita dengan semangat. Jun menatap sekilas harapan hidup yang terpancar dari wajah Akane dengan menerawang. Ia melamun tanpa memperhatikan Akane yang bercerita.
            “Ayah, Halo..??? Ayah mendengarkan aku?” kata Akane sambil menggerak-gerakkan tangannya didepan wajah Jun.
            “Oh, oh, iya.. Kau sudah minum obatmu?” kata Jun tiba-tiba
            “Ya, aku sudah meminumnya. Kalau begitu aku mau mandi dulu.” Kata Akane sambil berjalan perlahan ke dalam rumah. Segera ia berlari ke tangga menuju kamarnya. Jun hanya menatap dengan senyum tersungging di pipinya.
~~~~~~~~~~~
            Senja datang. Satsuki duduk menyendiri di ruang tamu. Ia membaca banyak buku. Mulai dari buku pelajaran sampai buku pengetahuan lainnya. Hari ini rumahnya tetap sepi. Ia belajar untuk menaikkan derajat keluarganya yang sudah tercoreng buruk oleh kelakuan ayahnya. Ia ingin semua berubah menjadi lebih baik nanti.
            Terdengar suara pintu rumah dibuka. Seorang wanita paruh baya masuk. Satsuki memalingkan wajahnya sejenak dari bukunya. Ia memandang sejenak wanita paru baya itu.
            “Ibu, kenapa pulang secepat ini?” tanya Satsuki.
            “Aku sedang tidak enak badan.”
            “Apa ibu sakit? Perlu aku antar ke dokterkah? Atau kubelikan obat?” kata Satsuki  cemas.
            “Tidak. Tidak usah. Aku tak apa-apa. Hanya perlu istirahat sebentar. Hazuki mana?”
            “Dia ada dikamarnya bu. Perlu ku antar?”
            “Tidak perlu. Ibu bisa sendiri.” Ibu Satsuki perlahan berjalan ke tangga dan menghilang di balik tembok. Satsuki kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Jarum pendek jam berjalan mendekati angka 6. satsuki bersiap untuk memasak makanan untuk makan malam. Ia membereskan bukunya dan berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari makanan, terdapat sayuran dan ikan disana. Ia berfikir sejenak, untuk menu makan malam hari ini. Sup. Ya, lebih baik hari in makan sup saja. Cuaca hari ini cukup dingin, ibunya juga sepertinya butuh makanan yang hangat. Akhirnya ia mengeluarkan beberapa sayuran dari lemari makanan dan bersiap mengolahnya.
            Ia mengambil pemutar musik dari sakunya dan memasang earphone di telinga. Pelan-pelan terdengar suara musik mengalun dari earphonenya. Ia menikmatinya sambil memotong sayuran-sayuran tersebut.
            Terdengar suara langkah berat di luar rumah. Satsuki melepas earphonenya. Ia ingin tahu siapa yang datang. Belum sampai depan pintu, pintu rumah sudah dibuka paksa dengan keras oleh seorang lelaki paruh baya yang bejalan linglung dan berusaha masuk ke dalam rumah. Satsuki tercengang melihat lelaki yang dengan keadaan mabuk itu masuk ke dalam rumah.
            “Hei mana ibumu, Aku minta uang lagi! Mana dia, bocah?”
            “Ayah? Tenanglah. Ibu sedang sakit, jangan berisik.” Kata Satsuki sambil berjalan mendekati ayahnya.
            “Aku tak peduli! Berikan uangnya atau aku akan mengobrak-abrik seisi rumah ini!!” katanya sambil berteriak-teriak. Satsuki bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia tak mungkin membangunkan ibunya. Ia juga tak mungkin mengambil dengan lancang uang milik ibunya.
            “Cepat berikan uangnya! Kalau tidak mau, aku akan mengambilnya sendiri dari ibumu!” kata lelaki itu sekali lagi. Ia mulai mengambil sikap menerobos masuk dan mulai menaiki tangga. Dengan cepat satsuki mencegah laki-laki tersebut dengan menarik tangannya.
            “Tunggu! Aku akan beriakn uangnya, asalkan ayah tidak membangunkan ibu!” Satsuki kehabisan ide untuk ini. Ia mengambil uang sakunya selam seminggu dan memberikannya ke ayahnya dengan terpaksa. “Segini cukupkan?!? Sudah pergilah sana!”
            Ayahnya tersenyum bangga. “Terima kasih, bocah! Aku pergi dulu.” Katanya sambil berlalu dan menutup pintu depan dengan keras.
            “Ya! dan tak usah kembali lagi!” teriak Satsuki kepada pintu yang sudah tertutup rapat. Ia berbalik dan melihat Hazuki mengintip dari balik pintu kamarnya. Terkejut dengan tatapan kakaknya, Hazuki segera menutup pintu kamarnya. Ia mengatur nafasnya yang memburu. Ia lelah, bingung, bosan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Ia duduk di sofa menenangkan diri. Jarum pendek mendekati angka 7 sekarang. Hari sudah semakin malam. Ia berjalan kembali ke dapur dan memasang earphonenya. Terdengar suara lagu mengalun yang sementara ini bisa menenangkan hatinya. YUI-IT`S HAPPY LINE-
            Dare no tame ni ikite iru no?
            Saenai hibi wo sugoshite
            Yowasa mo itami mo
            Dono kurai kanjiteiru no?
               Tarinai kinou ni obore yume ni kaita kyou
               Soro e nakute mo Yeah… Yeah…
               Yoake mae no matataku hoshi wa
               Kiete itta no? Asu he ita no?
               Tomorrow never knows      IT`S HAPPY LINE
            Nani wo shinjitte ikeba ii?
            Mienai hibi wo sugoshite
            Donna yoru wo mite mo
            Mou kurai kao shinai de
                Daremo ga shiawase yobu egao
                Miete iru no? Warae nakute mo Yeah… Yeah…
                Asu he no omoi wo mune ni
                Akai me wo mite waratte mita no
                Tomorrow never knows     IT`S HAPPY LINE
            Untuk siapa kau hidup?
            Seperti kau melewati hari-hari yang suram ini
            Seberapa banyak kelemahan
dan rasa sakit yang kau rasakan?
     Tetap saja jika kau kehilangan sesuatu di masa lalu yang tak memuaskan
     Dan hari ini tak berbuat seperti hari tergambarnya dirimu di mimpi
    Bintang itu bersinar sebelum fajar
    Akankah ia pergi? Pergi ke hari esok?
    Esok tak kan tahu   IT`S HAPPY LINE
Apakah yang dapat ku percayai?
Seperti aku melewatkan hari-hari yang tak dapat kulihat
Tak masalah sesuram apa malam yang tlah ku lihat
Jangan nampak demikian sedih lagi
     Tiap orang memiliki senyum yang mereka sebut kebahagiaan
     Dapatkah kau melihatnya? Saat kau tak tersenyum
     Dengan perasaanku untuk hari esok di hatiku
     Aku mencoba melihatnya lewat setitik cahaya merah dan tersenyum
     Esok tak kan tahu  IT`S HAPPY LINE
~~~~~~~~~~~
            Duduk termenung di kasur itulah yang Akane lakukan sekarang. Ia tak sabar ingin menjalankan idenya besok. Bintang malam ini terlihat berkelip redup. Angina masih bertiup meskipun tak terlalu kencang. Musim dingin akan berpindah ke musim semi. Ia tak sabra ingin melihat bunga sakura mekar. Ia berharap Tuhan masih memberinya waktu untuk melihat bunga sakura mekar sebelum ia meninggal. Semoga saja itu bukanlah sebuah harapan kosong. Pintu kamar Akane diketuk pelan. Akane berjalan untuk membuka pintu kamarnya.
            “Ada apa, ayah?”
            “Kau belum tidur?”
            “Belum. Memangnya kenapa?”
            “Sudah kau minum obatmu?”
            “Iya. Sudah. Ayah kesini Cuma mau menanyakan itu?”
            “Ya. Oh.. Jangan lupa tutup jandela mu. Anginnya lumayan kencang.”
            “Ya, aku tahu.... Sudahlah aku ini bukan anak kecil lagi.”
            “Kalau begitu, Selamat Tidur. Jangan lupa pakai selimutmu.”
            “Iya... Aku mengerti. Selamat Tidur, Ayah.” Dengan lembut ayahnya mengelus kepalanya dan berlalu. Akane mentup pintunya. Ia berjalan ke arah jendela dan menutupnya. Ia mematikan lampu kamarnya dan menghidupkan lampu tidurnya yang berdiri di atas meja belajarnya.
            Akane berbaring sambil memandang langit-langit. Tidak terasa sudah sbulan ia lewati. Tinggal dua bulan lagi sebelum saatnya tiba. Penyakit ini semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya. Obat, obat, obat samapi rasanya mual harus minum obat setiap hari. Dari dalam lubuk hatinya, ia ingin seklai membahagiakan orangtuanya, minimal membuat mereka tersenyum. Tapi penyakit ini menghambatnya. Ia tak boleh berfikir terlalu keras, tidak boleh lelah, harus istirahat dan istirahat. Dengan waktu sesingkat ini, apa yang harus ia lakukan? Apakah harus pasrah sampai ajal telah menjemput? Atau berusaha keras untuk membahagiakan orangtuanya meski bertaruh nyawa? Semua terserah kehendak-Nya. Sekali lagi, ia berharap ini bukanlah impian kosong.
~~~~~~~~~~~
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar